Halaqah 03: Pengantar Penjelasan Kitab Nawaqidul Islam (Bagian 3)
Materi HSI pada halaqah ke-3 dari halaqah silsilah ilmiyyah abdullah roy bab Kitab Nawaqidul Islam adalah tentang pengantar penjelasn kitab Nawaqidul Islam bagian 3. Diantara kaidah yang disebutkan oleh ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di dalam masalah pembatal keislaman adalah:
Terkadang seseorang mengucapkan ucapan yang kufur atau melakukan amalan yang kufur akan tetapi tidak dihukumi sebagai orang yang kafir, karena di sana ada syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika seseorang dihukumi sebagai orang yang kafir. Diantaranya:
1. Baligh
Apabila dia belum baligh, anak kecil misalnya, dia mengatakan Aku adalah Tuhan. Ucapan dia ini adalah ucapan yang kufur dan tidak diragukan dia adalah ucapan yang kufur. Tapi karena yang mengucapkan adalah seorang anak kecil yang belum baligh, maka tidak dihukumi anak kecil tersebut sebagai orang yang keluar dari agama Islam.
Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
رفع القلم عن ثلاثة : عن صبي حتى يبلغ، وعن نائم حتى يستيقظ ، وعن مجنون حتى يفيق
“Diangkat pena dari tiga golongan: dari anak kecil sampai dia baligh, dan dari orang yang tidur sampai dia bangun, dan dari orang yang gila sampai dia sadar.” [HR. At Tirmidzi]
2. Berakal
Apabila ada seorang muslim yang tidak berakal mengucapkan ucapan yang kufur, maka tidak dianggap kafir, karena dia mengucapkan ucapan tersebut dalam keadaan dia tidak berakal. Orang yang mabuk misalnya, dia mengucapkan ucapan yang kufur, maka tidak dianggap sebagai orang yang kafir.
3. Tidak dalam paksaan.
Terkadang seseorang dipaksa untuk mengucapkan ucapan yang kufur atau melakukan perbuatan yang kufur, padahal hatinya mengingkari. Dia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dia yakin seyakin-yakinnya dengan Islam, tetapi apabila dia tidak mengucapkan kalimat kufur tersebut, dia akan dibunuh atau diancam akan disiksa. Kondisinya dipaksa untuk mengucapkan kalimat kufur. Kalau itu terjadi, maka hal ini tidak mengeluarkan dia dari Islam.
Ucapan dia adalah ucapan yang kufur, akan tetapi tidak dihukumi sebagai orang yang kafir atau musyrik.
Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,
(مَن كَفَرَ بِٱللَّهِ مِنۢ بَعۡدِ إِیمَـٰنِهِۦۤ إِلَّا مَنۡ أُكۡرِهَ وَقَلۡبُهُۥ مُطۡمَىِٕنُّۢ بِٱلۡإِیمَـٰنِ وَلَـٰكِن مَّن شَرَحَ بِٱلۡكُفۡرِ صَدۡرࣰا فَعَلَیۡهِمۡ غَضَبࣱ مِّنَ ٱللَّهِ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِیمࣱ)
[Surat An-Nahl 106]
“Barangsiapa yang kufur kepada Allah setelah keimanan dia, kecuali orang yang dipaksa, sedangkan hatinya dalam keadaan tenang dengan keimanan. Akan tetapi orang yang lapang dengan kekufuran, maka merekalah orang-orang yang mendapatkan kemarahan dari Allah dan merekalah orang-orang yang mendapatkan adzab yang besar.”
Ayat ini turun ketika Ammar bin Yasir radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dipaksa oleh orang-orang musyrikin untuk mengucapkan kalimat kufur, disuruh untuk mencela Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan saat itu beliau dalam keadaan disiksa, sehingga beliau pun terpaksa mengucapkan kalimat kufur padahal di dalam hati, beliau tenang dengan keimanan.
Rasulullah shallallāhu’ alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah telah memaafkan untukku dari ummatku, kesalahan, lupa, dan apa yang mereka dipaksa untuk melakukannya.” [HR. Ibnu Majah]
Dari sini kita mengetahui kehati-hatian ahlussunnah di dalam masalah Nawaqidul Islam dan di dalam masalah pengkafiran. Apalagi di dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَن قَال لِأَخِيْهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya, Wahai orang yang kafir, maka sungguh kekafiran ini kembali kepada salah satu diantara keduanya.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Menghukumi bahwasanya si fulan adalah kafir,
si fulan adalah musyrik, ini dilakukan oleh para ulama yang ilmunya sudah mendalam, yang terpenuhi pada dirinya syarat-syarat sebagai seorang mujtahid (mufti) yang berfatwa di dalam hukum-hukum agama.
Masuk kita pada pembahasan kitab ini.
Berkata Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, Bismillahirrahmanirrahim, dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Beliau memulai kitab ini dengan Basmalah, meniru Allah di dalam Al-Qur’an, karena ayat yang pertama di dalam mushaf adalah Basmalah. Dan yang ke dua meneladani Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam karena ketika Beliau menulis surat-surat dakwah kepada Islam, Beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam memulai surat-surat tersebut dengan Basmalah. Dan inilah yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam ketika mengirim surat kepada Bilqis. Beliau memulai dengan Basmalah.
Allah berfirman menceritakan ucapan Ratu Bilqis,
(إِنَّهُۥ مِن سُلَیۡمَـٰنَ وَإِنَّهُۥ بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ)
[Surat An-Naml 30]
“(berkata Ratu Bilqis), Ini adalah dari Sulaiman dan isinya Bismillahirrahmanirrahim.”
Yaitu surat Nabi Sulaiman diawali dengan Basmalah.
Memulai dengan Basmalah maksudnya adalah memohon pertolongan kepada Allah. Karena ب di dalam ucapan بسم الله adalah ب Al Isti’anah, yaitu huruf ب yang maknanya memohon pertolongan.
بسم الله Dengan menyebut nama Allah, maksudnya adalah Aku memohon pertolongan kepada Allah dengan menyebut nama-Nya.
Ismullah, yaitu nama Allah di sini mencakup seluruh nama Allah. Karena di dalam Bahasa Arab, apabila sebuah kata yang mufrod (tunggal) disandarkan, maka maknanya adalah umum.
Ismu (nama) adalah tunggal. Disandarkan kepada lafdzul jalalah yaitu Allah, sehingga maknanya semua nama Allah. Ini seperti kata نعمة الله di dalam firman Allah,
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱذۡكُرُوا۟ نِعۡمَةَ ٱللَّهِ عَلَیۡكُمۡ
[Surat Al-Ahzab 9]
“Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah nikmat Allah atas kalian.”
Nikmat di sini adalah mufrod (tunggal), tapi maksudnya adalah sebutlah atau ingatlah nikmat-nikmat Allah atas kalian.
Demikian pula dengan kalimat Basmalah. Dengan menyebut nama Allah, maksudnya adalah nama-nama Allah. Dan nama-nama Allah yang paling baik maksudnya adalah nama-nama Allah yang paling baik yang Allah sebutkan di dalam firman-Nya,
وَلِلَّهِ ٱلۡأَسۡمَاۤءُ ٱلۡحُسۡنَىٰ فَٱدۡعُوهُ بِهَاۖ
[Surat Al-A’raf 180]
“Dan Allah, Dia-lah yang memiliki Asmaul Husna, maka hendaklah kalian berdo’a dengannya.”
Allah adalah lafdzul jalalah dan Dia adalah nama Allah yang paling besar. Nama-nama Allah yang lain disandarkan pada lafdzul jalalah.
Seseorang mengatakan Ar Rahman adalah diantara nama-nama Allah, Ar Rahim adalah diantara nama-nama Allah, Al ‘Aziz adalah diantara nama-nama Allah. Namun tidak bisa dia mengatakan bahwa Allah adalah diantara nama-nama Ar Rahman.
Dan lafdzul jalalah berasal dari kata Al Ilaah, artinya adalah Al Ma’bud (yang disembah). Sehingga makna Allah adalah sesembahan yang berhak disembah.
Ar Rahman adalah nama Allah yang maknanya Maha Penyayang. Nama ini mengandung sifat Rahmah (kasih sayang). Dan nama-nama Allah adalah nama-nama yang memiliki makna, sehingga dinamakan dengan Asmaul Husna karena dia mengandung makna yang paling baik. Berbeda dengan nama makhluk. Terkadang seseorang memiliki nama yang baik, namun dia memiliki perangai yang buruk. Namanya Sholeh tetapi dia bukan orang yang sholeh. Namanya Abdullah, tetapi dia menyekutukan Allah.
Ar Rahim artinya juga Maha Penyayang. Nama ini mengandung sifat Ar Rahmah.
Perbedaan antara Ar Rahman dan Ar Rahim bahwa Ar Rahman mengandung sifat kasih sayang Allah yang mencakup seluruh makhluk, baik yang beriman maupun yang tidak beriman. Orang yang kafir di dunia juga mendapatkan sebagian dari rahmat Allah, seperti nikmat hidup, nikmat waktu, nikmat sehat, nikmat rezeki, dll.
Ar Rahim mengandung sifat kasih sayang Allah yang Allah khususkan bagi orang-orang yang beriman, seperti hidayah kepada Islam, kenikmatan di dalam alam kubur, kenikmatan di dalam surga, dll. Allah berfirman,
وَكَانَ بِٱلۡمُؤۡمِنِینَ رَحِیمࣰا
[Surat Al-Ahzab 43]
“Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla sangat sayang kepada orang-orang yang beriman.”
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Nawaqidul Islam]