Halaqah 09: Penjelasan Pembatal Keislaman Ke Dua (Bagian 3)
Materi HSI pada halaqah ke-9 dari halaqah silsilah ilmiyyah abdullah roy bab Kitab Nawaqidul Islam adalah tentang penjelasan pembatal keislaman kedua bagian 3. Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam membedakan antara keadaan Beliau ketika hidup dan keadaan Beliau setelah meninggal dunia. Dalam keadaan hidup, Beliau bisa mendo’akan. Ketika Beliau sudah meninggal dunia, maka Beliau tidak bisa mendo’akan.
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari di dalam كِتَاب الْمَرْضَى dari Aisyah radhiyallāhu ‘anha, ketika Aisyah sakit kepala dan mengatakan, وَارَأْسَاهْ “Aduh, sakit kepalaku.”
Kemudian Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar ucapan Aisyah, Beliau bersabda,
ذَاكِ لو كانَ وأَنَا حَيّ فأسْتَغْفِرُ لَكِ وأَدْعُو لَكِ
“Wahai Aisyah, seandainya itu terjadi (yaitu meninggalnya dirimu karena sakit ini) dan aku dalam keadaan masih hidup, niscaya aku akan memohonkan ampun untukmu dan niscaya aku akan mendo’akan kebaikan untukmu.”
Ucapan Beliau, ‘dan aku dalam keadaan masih hidup’, menunjukkan bahwa seandainya Beliau masih hidup niscaya Beliau masih bisa mendo’akan, tetapi kalau Beliau sudah meninggal dunia maka Beliau tidak bisa mendo’akan dan tidak bisa memohonkan ampun untuk orang lain, bahkan untuk istrinya pun, Beliau tidak bisa.
Demikian pula para sahabat radhiyallahu ‘anhum, mereka membedakan antara keadaan Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam ketika masih hidup bersama mereka dan keadaan Beliau setelah meninggal dunia.
Di zaman Umar bin Khatab radhiyallāhu ‘anhu, terjadi kemarau panjang yang dahsyat karena lama tidak turun hujan, sehingga banyak tanaman yang rusak dan hewan-hewan yang mati. Bahkan karena sangat parahnya keadaan saat itu, terjadilah banyak pencurian. Karena saking banyaknya, sampai Umar bin Khatab radhiyallāhu ‘anhu saat itu memaafkan orang-orang yang mencuri dan tidak memotong tangan mereka. Kemudian beliau radhiyallāhu ‘anhu mengumpulkan para sahabat dan para penduduk Madinah saat itu untuk mengadakan sholat istisqo’, meminta hujan kepada Allah. Kemudian beliau berkata,
اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا إِذَا أَجْدَبْنَا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا
“Ya allah, dahulu kami ketika kami mendapatkan kemarau (di masa Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam) kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, kemudian Engkau memberikan hujan kepada kami.”
Bertawassulnya para sahabat di sini adalah dengan meminta do’a Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana ini praktek para sahabat di dalam hadits yang lain di mana para sahabat meminta kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam supaya berdo’a kepada Allah. Sebagaimana di dalam hadits, seorang Badui Arab yang masuk ke dalam Masjid Nabawi dan Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berkhutbah. Kemudian orang Arab Badui ini berkata kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam supaya Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam berdo’a kepada Allah meminta hujan. Maka Allah pun mengabulkan.
Kemudian Umar berkata,
وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
“Kemudian sekarang Ya Allah, kami bertawassul dengan paman Nabi-Mu, maka hendaklah Engkau memberikan hujan kepada kami.”
Saat itu, Abbas bin Abdul Mutholib, paman Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Dan bertawassul dengan paman Nabi saat itu dengan meminta do’a beliau supaya Allah menurunkan hujan.
Perhatikanlah! Beliau bertawassul dengan do’a-do’a orang yang shalih yang masih hidup. Dan tidak datang ke kuburan Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam untuk meminta do’a, karena beliau radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu tahu bahwa yang demikian adalah kesyirikan dan tidak ada faidahnya. Padahal saat itu keadaan sangat parah. Dan tentunya dalam keadaan seperti itu, mereka mencari sebab atau cara yang paling manjur agar bisa keluar dari permasalahan tersebut.
Ternyata Umar radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu meminta do’a dari Abbas yang masih hidup saat itu dan tidak meminta do’a dari Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Demikianlah, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat membedakan antara keadaan hidup dan mati.
Jadi alasan bahwasanya orang-orang shalih tersebut hidup di dalam kuburan dan mendengar ucapan mereka, sehingga boleh meminta do’a darinya, maka ini adalah alasan yang tidak benar.
Diantara mereka ada yang meminta do’a kepada orang-orang yang shalih yang meninggal dunia dengan alasan bahwa Allah adalah Al Khaliq (Yang Maha Pencipta) dan kita adalah hamba-hamba-Nya. Kita saja di dunia ketika ingin bertemu dengan seorang presiden, kita tidak bisa langsung bertemu dengan presiden tersebut, menyampaikan permintaan kita secara langsung. Akan tetapi di sana ada menteri, ajudan, pembantu-pembantu. Sulit bagi seseorang untuk sampai ke sana, kecuali melalui perantara-perantara tersebut. Kemudian orang ini mengatakan, demikian pula kita kepada Allah. Kita perlu wasithoh (perantara) yang menyampaikan hajat kita kepada Allah. Ini adalah alasan yang sangat lemah, karena Allah tidak bisa disamakan dengan makhluk. Allah adalah As Sami’ (Yang Maha Mendengar), Al Bashir (Yang Maha Melihat), Al Qadir (Yang Maha Mampu untuk melakukan segala sesuatu).
Seandainya seluruh manusia dan jin berkumpul dalam satu tempat lalu masing-masing berdo’a kepada Allah dengan bahasa masing-masing untuk meminta dipenuhi hajatnya, niscaya Allah bisa mendengar semuanya dan bisa menunaikan hajat mereka semuanya.
وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَیۡءࣲ قَدِیرٌ
[Surat Al-Baqarah 284]
“Dan Allah Maha Mampu untuk melakukan segala sesuatu.”
Adapun makhluk, maka dia adalah lemah. Makhluk tidak bisa mendengar ucapan beberapa orang yang berbicara di depannya dalam satu waktu. Apalagi menunaikan hajat mereka dalam satu waktu. Dia memerlukan pembantu, ajudan, menteri, apalagi yang diurusnya adalah jutaan manusia.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Nawaqidul Islam]