Halaqah 13: Penjelasan Pembatal Keislaman Ke Empat
Materi HSI pada halaqah ke-13 dari halaqah silsilah ilmiyyah abdullah roy bab Kitab Nawaqidul Islam adalah tentang penjelasan pembatal keislaman keempat. Berkata Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah,
الرَبِيع:
من اعتقد أنَّ غيرَ هَدْيِ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أكمَلُ مِن هَدْيِه، أو أنَّ حُكْمَ غيرِه أحسَنُ مِن حُكْمِه، كالذين يُفَضِّلون حُكْمَ الطَّواغيتِ على حُكْمِه؛ فهو كافِرٌ
Pembatal keislaman yang ke empat:
“Barangsiapa yang meyakini bahwa selain petunjuk Nabi lebih sempurna daripada petunjuk Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam, atau meyakini bahwa selain hukum Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam lebih baik daripada hukum Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam, seperti orang-orang yang mengutamakan hukum thaghut di atas hukum Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam, maka dia telah kafir.”
Di dalam pembatal keislaman yang ke empat ini, Syeikh menyebutkan dua poin utama:
1. Barangsiapa yang meyakini bahwa selain petunjuk Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam lebih sempurna daripada petunjuk Beliau.
Petunjuk Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah wahyu dari Allah, baik berupa Al Qur’an atau berupa Hadits Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Allah mengatakan,
(وَمَا یَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰۤ إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡیࣱ یُوحَىٰ)
[Surat An-Najm 3 – 4]
“Apa yang Beliau ucapkan kecuali itu adalah wahyu dari Allah yang diwahyukan kepada Beliau.”
Di dalam hadits Beliau mengatakan,
أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
“Ketahuilah, bahwasanya aku diberikan Al Qur’an dan yang semisalnya bersamanya (yaitu hadits-hadits Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam).” [HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syeikh Al Albani rahimahullah]
Kalau demikian, kita harus meyakini bahwa apa yang datang dari Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam pasti lebih sempurna daripada petunjuk selain Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Dalam sebuah hadits, Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمَّد صلى الله عليه وسلم
“Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah dan petunjuk yang paling baik adalah petunjuk Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam [HR. An Nasai dan dishahihkan oleh Syeikh Al Albani]
Allah Subhānahu wa Ta’āla, dialah العَلِيمُ الحَكِيمُ
العَلِيمُ artinya Yang Maha Mengetahui. Mengetahui apa yang menjadi maslahat bagi manusia dan mudhorot atas mereka.
Dan Allah adalah الحَكِيمُ artinya Yang Maha Bijaksana di dalam hukum-hukum-Nya. Baik hukum-hukum yang berkaitan dengan syari’at-Nya maupun hukum-hukum kauniyah yang Allah takdirkan di alam semesta. Dialah yang menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.
Allah berfirman,
وَٱللَّهُ یَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
[Surat Al-Baqarah 232]
“Dan Allah, Dialah Yang Mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.”
Allah yang lebih mengetahui apa yang maslahat bagi kita dan apa yang mudhorot bagi kita.
Allah mengatakan,
(أَلَا یَعۡلَمُ مَنۡ خَلَقَ وَهُوَ ٱللَّطِیفُ ٱلۡخَبِیرُ)
[Surat Al-Mulk 14]
“Bukankah Yang Menciptakan, Dialah Yang Mengetahui? Dan Dialah Yang Maha Lembut dan Mengetahui.”
Syari’at Allah adalah syari’at yang bijaksana. Syari’at Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah khusus untuk umatnya. Adapun syari’at Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam maka untuk seluruh manusia, sesuai untuk semua tempat dan zaman. Kewajiban seorang muslim adalah meyakini bahwa petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya lebih sempurna daripada petunjuk dari selain Allah dan Rasul-Nya.
Di dalam Al-Qur’an, ketika Allah menyebutkan tentang ayat warisan, Allah berfirman,
یُوصِیكُمُ ٱللَّهُ فِیۤ أَوۡلَـٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَیَیۡنِۚ
[Surat An-Nisa’ 11]
“Allah mewasiatkan kepada kalian dalam perkara anak-anak kalian, laki-laki mendapat dua bagian wanita.”
Allah menyebutkan di dalam ayat ini tentang beberapa hal yang berkaitan dengan hukum waris, seperti bagian anak laki-laki, bagian anak wanita, bagian seorang ibu apabila ada anaknya, dll. Ini semua adalah ketentuan dari Allah Azza wa Jalla.
Kemudian Allah mengatakan,
ءَابَاۤؤُكُمۡ وَأَبۡنَاۤؤُكُمۡ لَا تَدۡرُونَ أَیُّهُمۡ أَقۡرَبُ لَكُمۡ نَفۡعࣰاۚ فَرِیضَةࣰ مِّنَ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِیمًا حَكِیمࣰا
[Surat An-Nisa’ 11]
“Bapak-bapak kalian dan anak-anak kalian, kalian tidak tahu siapa diantara mereka yang lebih manfaatnya daripada kalian, sebagai kewajiban dari Allah. Sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Kewajiban kita membagi harta warisan sesuai dengan ketentuan Allah, bukan dengan adat istiadat manusia.
2. Kemudian Syeikh mengatakan,
أو أنَّ حُكْمَ غيرِه أحسَنُ مِن حُكْمِه
“Atau dia meyakini bahwa hukum atau keputusan selain Beliau lebih baik daripada hukum Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam.”
Poin yang ke dua ini adalah termasuk pembatal keislaman yang ke empat, yaitu meyakini bahwa hukum selain Beliau lebih baik daripada hukum Beliau.
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah. Tugas Beliau menyampaikan hukum Allah. Hukum yang datang dari Beliau adalah hukum Allah.
Allah berkata,
(إِنَّاۤ أَنزَلۡنَاۤ إِلَیۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ بِٱلۡحَقِّ لِتَحۡكُمَ بَیۡنَ ٱلنَّاسِ بِمَاۤ أَرَىٰكَ ٱللَّهُۚ وَلَا تَكُن لِّلۡخَاۤىِٕنِینَ خَصِیمࣰا)
[Surat An-Nisa’ 105]
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu Al Qur’an dengan haq, supaya engkau menghukumi diantara manusia dengan apa yang Allah perlihatkan kepadamu. Dan janganlah engkau menjadi pembela bagi orang-orang yang berkhianat.”
Dan hukum Allah adalah sebaik-baik hukum. Allah berfirman,
(أَفَحُكۡمَ ٱلۡجَـٰهِلِیَّةِ یَبۡغُونَۚ وَمَنۡ أَحۡسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكۡمࣰا لِّقَوۡمࣲ یُوقِنُونَ)
[Surat Al-Ma’idah 50]
“Apakah hukum jahiliyyah yang mereka cari? Dan siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin.”
Yang berhak memberikan hukum-hukum tersebut untuk kita hanyalah Allah.
إِنِ ٱلۡحُكۡمُ إِلَّا لِلَّهِ
[Surat Yusuf 40]
“Tidaklah hukum kecuali untuk Allah.”
Berhukum dengan hukum Allah adalah kewajiban. Allah berfirman,
(فَلَا وَرَبِّكَ لَا یُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ یُحَكِّمُوكَ فِیمَا شَجَرَ بَیۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا یَجِدُوا۟ فِیۤ أَنفُسِهِمۡ حَرَجࣰا مِّمَّا قَضَیۡتَ وَیُسَلِّمُوا۟ تَسۡلِیمࣰا)
[Surat An-Nisa’ 65]
“Tidak, Demi Rabb-mu. Mereka tidak beriman sampai mereka menjadikan engkau sebagai hakim di dalam apa yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak mendapatkan di dalam hati mereka rasa berat, dan mereka menyerahkan diri dengan sebenar-benar penyerahan.”
Allah bersumpah dengan dirinya sendiri bahwa mereka tidak beriman sampai berhukum dengan hukum Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Dan di dalam batinnya dia ridho dan tidak merasa berat.
Ini menunjukkan bahwa berhukum dengan hukum Beliau shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan ridho dengannya adalah sebuah kewajiban.
Apabila ada seseorang yang meyakini bahwa keputusan atau hukum selain Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam lebih baik daripada keputusan atau hukum Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam, maka keyakinan tersebut telah membatalkan keislamannya.
Orang munafik dahulu tidak mau berhukum kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Mereka mencari hukum selain Beliau dalam memutuskan perselisihan mereka. Berhukum dengan selain hukum Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah diantara sifat orang-orang munafik.
Di dalam sebuah ayat Allah mengatakan,
(أَلَمۡ تَرَ إِلَى ٱلَّذِینَ یَزۡعُمُونَ أَنَّهُمۡ ءَامَنُوا۟ بِمَاۤ أُنزِلَ إِلَیۡكَ وَمَاۤ أُنزِلَ مِن قَبۡلِكَ یُرِیدُونَ أَن یَتَحَاكَمُوۤا۟ إِلَى ٱلطَّـٰغُوتِ وَقَدۡ أُمِرُوۤا۟ أَن یَكۡفُرُوا۟ بِهِۦۖ وَیُرِیدُ ٱلشَّیۡطَـٰنُ أَن یُضِلَّهُمۡ ضَلَـٰلَۢا بَعِیدࣰا)
[Surat An-Nisa’ 60]
“Tidaklah engkau Muhammad memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelummu, tetapi mereka masih menginginkan berhukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya.”
Kemudian beliau mengatakan,
كالذين يُفَضِّلون حُكْمَ الطَّواغيتِ على حُكْمِه
“Seperti orang yang mengutamakan hukum thaghut lebih baik daripada hukum Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam.”
Hukum thaghut adalah hukum-hukum yang dibuat oleh manusia. Kalau diyakini itu sama dengan hukum Allah atau lebih baik daripada hukum Allah, maka pelakunya keluar dari agama Islam. Tapi kalau dia berhukum dengan hukum tersebut karena sebab dunia, seperti harta dan jabatan, namun di dalam hatinya meyakini hukum Allah lebih baik, maka dia fasik, tidak keluar dari agama Islam.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Nawaqidul Islam]