Halaqah 97: Pembahasan Dalil Kesepuluh Hadits Hudzaifah Ibnu Yaman (Bagian 3)
Halaqah yang ke-97 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Fadhlul Islam yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.
Setelahnya Hudzaifah bertanya lagi kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
قُلْتُ
Aku mengatakan
فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الخَيْرِ مِنْ شَرٍّ؟
Apakah setelah kebaikan yang ada دَخَن nya tadi kemudian datang lagi kejelekan, maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan
نَعَمْ
Iya akan datang kejelekan lagi, fitnatun amyat, lebih dari pada yang sebelumnya. Yang sebelumnya خَيْر ada kejelekan, ada sesuatu yang mengeruhkan berupa kebid’ahan, yang setelahnya akan datang شَرّ dan disifati oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya شَرّ tadi berupa fitnatun amyat, fitnah yang buta artinya orang yang terjatuh ke dalam fitnah ini maka dia seperti orang yang buta tidak mengetahui apa yang harus di lakukan dalam keadaan bingung dalam keadaan dia tidak mengetahui apa yang harus dilakukan.
Dan di sana ada
دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ
Di masa itu, di masa banyaknya fitnah, diantara yang bikin bingung banyak manusia adalah adanya da’i-da’i, namanya da’I, mungkin pakaiannya, ucapannya, sama dengan pakaian ulama, ucapannya juga mirip dengan ucapan ulama sehingga inilah yang banyak membingungkan kebanyakan dari manusia.
Itukan pakaiannya sama, dia juga punya titel, dia juga hafal Qur’an bahkan dia juga menghafal hadits, oh dia juga punya sanad dan seterusnya, tapi ternyata mereka adalah
دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ، مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا
Mereka berdiri di depan pintu pintu tersebut, dan ini adalah perumpamaan maksudnya mereka دُعَاةٌ mengajak manusia berada di atas jahanam di sana ada دُعَاةٌ yang berdiri di depan surga, ada yang mengajak manusia untuk melakukan amalan-amalan yang memasukkan mereka ke dalam surga, dan di sana ada دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ, ada da’i-da’i yang mereka berdiri di atas pintu-pintu jahanam, bukan mengajak manusia ke jalan Allah subhanahu wata'ala tapi kepada jahanam.
Bagaimana nasib orang yang menoleh kemudian mengikuti dakwah dari دُعَاةٌ tadi
مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا
Barangsiapa yang menjawab ajakan dari da’i-da’i tadi, dia mau menoleh dan mau bergerak menuju da’i tadi قَذَفُوهُ فِيهَا maka langsung oleh da’i tadi dilemparkan ke dalam jahanam. Barangsiapa yang menjawab dan menoleh dan tidak Istiqomah di atas jalan yang lurus tadi maka akibatnya akan terjerumus ke dalam jahannam.
Dan ini adalah menunjukkan tentang wajibnya kita untuk Istiqomah di atas islam, terus kita berjalan di atas Islam ini di belakang Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, di belakang para sahabat, di belakang para aimma ahlussunnah wal jamaah. Dan fitnah semakin ke sana semakin besar dan ajakan دُعَاةٌ yang berada di atas jahanam ini semakin syadid maka jangan sampai seseorang melenceng dan menyimpang dari jalan yang lurus ini.
Berdoa kepada Allah subhanahu wata'ala dan terus dia menuntut ilmu mensenjatai dirinya dengan ilmu tadi supaya kalau ada da’i yang mengajak kepada jahanam dia tahu, ini ngajak kepada kesesatan terus dia berjalan, ini juga ngajak kepada kesesatan terus dia berjalan, karena mereka juga bervariasi di dalam ajakan, diwahyukan oleh setan dari kalangan Jin dengan berbagai syubhat, ditebarkan di media diucapkan kepada manusia. Kalau kita tidak memiliki ilmu dengan kejelekan yang mereka ucapkan maka di khawatirkan kita akan menoleh, menyimpang dan mengikuti dakwah mereka yang akhirnya mereka akan menjerumuskan kita ke dalam jahanam.
Dan tentunya ini sangat pas sekali dibawakan oleh Muallif di dalam bab ini karena ini menunjukkan tentang wajibnya kita Istiqomah di atas Islam dan berhati-hati dengan دُعَاةٌ yang mereka berada di atas atau di depan pintu pintu jahanam ini dan adanya fitnah yang menjadikan banyak orang buta dan tidak mengetahui, dan tentunya ini bagi orang yang tidak berilmu.
Adapun orang yang menuntut ilmu maka dia menuntut mencari cahaya, karena ilmu adalah nur. Ketika dia menuntut ilmu berarti dia mencari cahaya sehingga ketika terjadi fitnah tersebut dia dalam keadaan beriman, seseorang semakin dalam ilmunya maka akan semakin tahu fitnah bahkan sebelum terjadinya fitnah apa yang dia pelajari didalam agama ini maka dia akan mengetahui berdasarkan apa yang dia pelajari dari agama ini.
Sehingga disebutkan bahwasanya fitnah itu diketahui kalau para ulama itu mengetahui sebelum terjadinya fitnah, makanya mereka melarang manusia kaum muslimin untuk memberontak kepada penguasa, karena mereka tahu bukan berarti mereka mengetahui ilmu yang ghoib tapi berdasarkan apa yang mereka pelajari didalam agama ini bahwasanya setelah pemberontakan maka ini akan terjadi kerusakan, terjadi fitnah yang besar.
Adapun orang-orang yang jahil baru mengetahui fitnah ketika setelah terjadinya, itu adalah ucapan orang yang jahil, adapun para ulama sebelum terjadinya fitnah berdasarkan ilmu yang mereka pelajari mereka sudah bisa meraba, dengan sidq dan ilmu yang ada di dalam diri para ulama tersebut.
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ! صِفْهُمْ لَنَا؟
Bukan hanya berhenti disitu ucapan Hudzaifah Ibnu Yaman, beliau semakin penasaran fitnatun amyat, دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ dan beliau tidak melihat yang demikian, yang beliau lihat sekarang adalah sahabat, kaum muslimin yang mereka murni berpegang teguh dengan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ternyata Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengabarkan bahwasanya kelak akan adaدُعَاةٌ yang mengajak kepada pintu jahanam, maka Hudzaifah bertanya
يَا رَسُولَ اللَّهِ! صِفْهُمْ لَنَا؟
Ya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sifatkan kepada kami orang-orang tersebut, da’i-da’i tersebut yang mengajak kepada pintu-pintu jahanam, yang berada di atas pintu-pintu jahanam, yang mendakwahkan kepada kesesatan. Kenapa beliau mengatakan صِفْهُمْ لَنَا sifatkan kepada kami tentang mereka ini, karena beliau ingin mengenalnya sehingga kalau suatu saat qoddarollah beliau menemui orang-orang tersebut maka beliau berada di atas ilmu, oh ini yang digambarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak boleh kita tertipu dengan madzhar mereka, dengan kefasihan mereka tapi yang kita lihat adalah hakikatnya kepada apa mereka mengajak, kepada apa mereka berdakwah
فَقَالَ: «هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا، وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا
Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ḥirs Beliau shallallahu 'alaihi wasallam untuk umat ini, dan ingin orang-orang yang mengikuti Beliau shallallahu 'alaihi wasallam Istiqomah di atas jalan yang lurus ini, di atas Islam, maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengabarkan mereka adalah kaum dari jildah kita. Yang dimaksud dengan jildah adalah madzhar sesuatu luarnya, jildah adalah sesuatu yang di luarnya, bungkusnya itu dinamakan dengan jildah, makanya jilid dinamakan dengan jilid karena dia membungkus manusia, mujallad awal mujallad tsani karena dia adalah pembungkusnya dan dulu bungkusnya biasanya berasal dari kulit.
هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا
Dzhohirnya kelihatannya dia adalah berasal dari kita
وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا
Dan mereka berbicara dengan lisan kita, ada yang mengatakan أَلْسِنَتِنَا disini adalah berbicara dengan bahasa Arab. Dhohirnya seperti orang Islam yang lain fasih di dalam bahasa arab, jadi mereka ini bukan orang-orang yang diluar agama Islam tapi justru mereka adalah berasal dari kita sendiri.
Dhohirnya, jildahnya adalah orang Islam dan ucapan mereka juga ucapan orang Islam yaitu berbicara dengan bahasa Arab dan ada yang mengatakan بِأَلْسِنَتِنَا disini adalah berbicara dengan lisanu syar’, berbicara dengan lisannya syariah, mungkin dia nggak ngomong dengan bahasa Arab tapi sedikit-sedikit Allah subhanahu wata'ala berfirman, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda meskipun dia nggak hapal arabnya, ini juga dinamakan dengan berbicara dengan lisanu syar’, berbicara dengan lisannya agama.
Oleh karena itu kita jangan tertipu dengan hanya sekedar madzhar, dengan luarnya, bungkusnya atau dengan kepandaian dia berbicara tapi yang kita lihat adalah hakikatnya, apa yang dia ajak, apakah kepada Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman para sahabat ataukah selain itu, yang dilihat oleh Allah subhanahu wata'ala adalah hakikatnya bukan hanya sekedar madzharnya.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Fadhlul Islam]